Oleh: Ihrom
Negara telah berwajah
ganda dalam persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Satu
sisi, Negara punya kewajiban untuk menjamin semua kepentingan warganya. Namun,
di sisi yang lain Negara justru menjadi bagian yang ikut serta tidak menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya.
Hal ini bisa dilacak dari
kebijakan-kebijakan Negara yang diskriminatif. Kebijakan diskriminatif oleh
Negara berakar dari kebijakan pengakuan agama resmi oleh negara. Kebijakan pengakuan oleh negara berdasarkan
PNPS no 1/1965.
Dilihat dari segi
bentuknya, kebijakan diskriminasi Negara terbagi menjadi 4:
Pertama, pembiaran dan persetujuan diam-diam. Bentuk ini sering kali dilakukan Negara terhadap tindakan
diskriminasi/kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-Negara. Contohnya, ketika
terjadi pengrusakan atau penyerangan rumah
ibadah, atau saat melakukan kegiatan keagamaan, bahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh aktor-aktor tersebut tidak mampu dicegah secara maksimal oleh
aparat penegak hukum. Negara tidak menunjukkan keseriusan untuk
menyelesaikannya secara adil, bahkan Negara cenderung melepaskan aktor-aktor
kunci yang terlibat dalam perkara-perkara tersebut.
Kedua, pengucilan dan pengusiran paksa. Atas nama ketertiban dan keamanan masyarakat, kerapkali Pemerintah,
khususnya Pemerintah Daerah melakukan pengucilan dan pengusiran kelompok
agama/kepercayaan yang dianggap bertentangan dengan keyakinan mayoritas. Contohnya,
kasus Ahmadiyah, di Geregung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat pada tahun
2006. Sampai akhir tahun 2012 ini jemaat Ahmadiyah masih berada di pengungsian,
karena tidak diizinkan oleh pemerintah setempat untuk kembali. Bahkan,
dalam Rapat RDPU DPR RI, muncul inisiasi dari Pemerintah dan DPR untuk
meletakkan kelompok Ahmadiyah di satu Pulau, supaya terjamin keamanan dan berlaku
tertib tidak mengganggu pemeluk agama Islam mayoritas.
Ketiga, pelarangan aktifitas. Contoh sikap negara dalam hal ini adalah pelarangan
beraktifitas kelompok aliran kepercayaan Surga Adn di Cirebon, Jawa Barat,
pelarangan aliran keagamaan terhadap Syamsudin yang menyatakan diri sebagai
Nabi Khidir di Mandar, Sulawesi Barat, pelarangan terhadap Yusman Roe untuk
sholat dua bahasa di Malang Jawa Timur, dan beragam kasus penyesatan lain. Selain
itu, pelarangan oleh Negara juga terjadi pada kasus beribadah dan mendirikan
rumah ibadah.
Keempat, practice of Incitement to Hatred. Salah satu implikasi dari proses demokratisasi di
Indonesia pasca reformasi adalah kebebasan berbicara. Kebasan ini tidak jarang
digunakan untuk menghasut dan menebar kebencian antar kelompok di ruang publik.
Pernyataan kebencian yang
dilakukan oleh pejabat Negara yang mengarah pada pembubaran suatu kelompok
tertentu adalah bagian dari diskriminasi di ruang publik. Misalnya, pernyataan
yang disampaikan Suryadarma Ali, sebagai Menteri Agama RI, terhadap kelompok
Ahmadiyah dalam banyak kesempatan. Secara politis pernyataan ini seringkali
dijadikan legitimasi bagi actor non-negara untuk melakukan diskriminasi, karena
merasa aksi-aksi mereka dilegitimasi oleh Negara.
Ungkapan yang bernada
kebencian di ruang Publik, meskipun dilarang dalam KUHP Indonesia, tidak pernah
diproses hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak jarang
propaganda-propaganda ini mewujud dalam tindakan anarkis, bahkan sampai
pembunuhan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan