Translate

Selasa, 18 Disember 2012

MODEL KEBIJAKAN NEGARA YANG DISKRIMINATIF


Oleh: Ihrom
Negara telah berwajah ganda dalam persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Satu sisi, Negara punya kewajiban untuk menjamin semua kepentingan warganya. Namun, di sisi yang lain Negara justru menjadi bagian yang ikut serta tidak menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya.
Hal ini bisa dilacak dari kebijakan-kebijakan Negara yang diskriminatif. Kebijakan diskriminatif oleh Negara berakar dari kebijakan pengakuan agama resmi oleh negara.  Kebijakan pengakuan oleh negara berdasarkan PNPS no 1/1965.
Dilihat dari segi bentuknya, kebijakan diskriminasi Negara terbagi menjadi 4:
Pertama, pembiaran dan persetujuan diam-diam. Bentuk ini sering kali dilakukan Negara terhadap tindakan diskriminasi/kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-Negara. Contohnya, ketika terjadi  pengrusakan atau penyerangan rumah ibadah, atau saat melakukan kegiatan keagamaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh aktor-aktor tersebut tidak mampu dicegah secara maksimal oleh aparat penegak hukum. Negara tidak menunjukkan keseriusan untuk menyelesaikannya secara adil, bahkan Negara cenderung melepaskan aktor-aktor kunci yang terlibat dalam perkara-perkara tersebut.
Kedua, pengucilan dan pengusiran paksa. Atas nama ketertiban dan keamanan masyarakat, kerapkali Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah melakukan pengucilan dan pengusiran kelompok agama/kepercayaan yang dianggap bertentangan dengan keyakinan mayoritas. Contohnya, kasus Ahmadiyah, di Geregung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2006. Sampai akhir tahun 2012 ini jemaat Ahmadiyah masih berada di pengungsian, karena tidak diizinkan oleh pemerintah setempat untuk kembali.  Bahkan, dalam Rapat RDPU DPR RI, muncul inisiasi dari Pemerintah dan DPR untuk meletakkan kelompok Ahmadiyah di satu Pulau, supaya terjamin keamanan dan berlaku tertib tidak mengganggu pemeluk agama Islam mayoritas.
Ketiga, pelarangan aktifitas. Contoh sikap negara dalam hal ini adalah pelarangan beraktifitas kelompok aliran kepercayaan Surga Adn di Cirebon, Jawa Barat, pelarangan aliran keagamaan terhadap Syamsudin yang menyatakan diri sebagai Nabi Khidir di Mandar, Sulawesi Barat, pelarangan terhadap Yusman Roe untuk sholat dua bahasa di Malang Jawa Timur, dan beragam kasus penyesatan lain. Selain itu, pelarangan oleh Negara juga terjadi pada kasus beribadah dan mendirikan rumah ibadah.
Keempat, practice of Incitement to Hatred. Salah satu implikasi dari proses demokratisasi di Indonesia pasca reformasi adalah kebebasan berbicara. Kebasan ini tidak jarang digunakan untuk menghasut dan menebar kebencian antar kelompok di ruang publik.
Pernyataan kebencian yang dilakukan oleh pejabat Negara yang mengarah pada pembubaran suatu kelompok tertentu adalah bagian dari diskriminasi di ruang publik. Misalnya, pernyataan yang disampaikan Suryadarma Ali, sebagai Menteri Agama RI, terhadap kelompok Ahmadiyah dalam banyak kesempatan. Secara politis pernyataan ini seringkali dijadikan legitimasi bagi actor non-negara untuk melakukan diskriminasi, karena merasa aksi-aksi mereka dilegitimasi oleh Negara.
Ungkapan yang bernada kebencian di ruang Publik, meskipun dilarang dalam KUHP Indonesia, tidak pernah diproses hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak jarang propaganda-propaganda ini mewujud dalam tindakan anarkis, bahkan sampai pembunuhan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan