Translate

Ahad, 16 Disember 2012

Antara Realitas dan Idealitas


ANTARA REALITAS DAN IDEALITAS:

HUKUM KEBEBASAN BERAGAMA DAN PELAKSANAANNYA DI INDONESIA

Oleh Ihrom

Pondasi konstitusi dan hukum tentang kebebasan beragama dan beriman di negeri yang berslogan bhinneka tunggal ika ini sangat kokoh. Namun, penerapan dari isi konstitusi dan hukum tersebut masih menyisakan tanda Tanya (?) besar. Inilah fakta ketidaksingkronan hukum dan praktek hukum di Indonesia.

1.      Konstitusi
Konstitusi telah memuat beberapa pasal yang menjamin hak dan kebebasan beragama terutama pasal 28E, 28I dan pasal 29 UUD Amandemen RI.
Pasal 28E UUD RI  menegaskan:
1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat
Ketentuan ini dipertegas dengan Pasal 28I UUD RI yang menyatakan:
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun;
(2)Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Demikian pula Pasal 29 ayat (2), menyebutkan:“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Meskipun demikian, Konstitusi masih mengenal adanya pembatasan terkait dengan kebebasan berpendapat dan beragama, yang ditetapkan dalam Pasal 28J UUD RI, bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pada saat yang sama klausul ini sering dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan beragama kelompok tertentu di Indonesia. Tidak jarang hak untuk berpendapat, beragama dan berkeyaninan dibatasi oleh Pemerintah dengan alasan mengganggu ketertiban umum dan keamanan.
2.      Undang-undang Yang Menjamin Kebebasan Berpendapat, Beragama dan Berkeyanan.
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memperkuat jaminan kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan, terutama pada pasal 4, pasal 12 dan pasal 22.
Pasal 4 UU HAM menegaskan, bahwa hak kemerdekaan pikiran, hati nurani dan hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Selanjutnya, UU HAM juga menegaskan hak-hak tersebut dijamin oleh hukum, yaitu pada Pasal 23 ayat (2), yang menyebutkan:  “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,  kepentingan umum, dan keutuhan Negara.”
Pasal 25 UU HAM juga menjamin: “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
3.      Peraturan Perundangan Tentang Hate Speech
Aturan hukum yang mengatur hate speech, antar lain adalah  KUHP , yaitu pasal 156 dan 157, dan UU 40/2008 Pasal 4 b ayat 1, 2, 3.
KUHP Pasal 156  “Di muka umum menyatakan perasaan, kebencian dan penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, golongan ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, dan kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”.  Selanjutnya dalam Pasal 157 ayat (1) KUHP menjelaskan, bahwa “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum”.
Selain hate speech, persoalan yang muncul adalah defamation. Sumber hukum yang paling utama dalam problem ini adalah PNPS no 1/1965 dan 156a. Defamasi dalam PNPS cenderung mengatur forum internum, mengancam kebebasan berfikir dan berkeyakinan, dan pada prakteknya diwarnai oleh dominasi mayoritas, sehingga penegakan hukum tergantung kemauan mayoritas, bukan karena fakta hukum. Tidak hanya soal defamasi, namun juga berkaitan dengan politik pengakuan oleh negara, agama resmi.
Selain itu, peraturan tersebut juga mengancam kebebasan untuk berserikat. Organisasi yang melanggar akan dibubarkan sepihak oleh negara, tanpa melalui putusan pengadilan, tetapi hanya dengan putusan pemerintah bukan UU, seperti kepeutusan Presiden atau menteri. Di samping itu peratutan tersebut, juga menyalahi konstitusi dan prinsip utama dalam pembatasan hak yang diakui secara internasional.
4.      Peraturan Lain
Peraturan lain itu adalah Perda-perda. Jika ditelusuri, Perda-perda ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung. Seperti contoh kasus Ahmadiyah Qodian.
Beberapa contoh kebijakan ini adalah Surat Perintah (SK) Bupati Kuningan Nomor 45/.2/2065/Satpol PP yang berisi perintah menutup dan menyegel delapan masjid milik Jemaat Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat. Kemudian tindakan penghentian kegiatan pembangunan dilakukan oleh Pemerintah Bogor, Jawa Barat, melalui Surat No. 300/448-Sekr, Perihal Rencana Kegiatan Penghentian Kegiatan Pembangunan Sarana Keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Cisalada tertanggal 9 Juli 2010, yang ditandatangi oleh Camat Ciampea Budi Lukmanul Hakim. Kemudian, Pemerintah Cianjur, Jawa Barat, juga mengeluarkan aturan, pada 17 Oktober 2005, melalui Keputusan Bersama Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri dan Kantor Departemen Agama Cianjur tentang larangan aktifitas penyebaran ajaran Ahmadiyah di wilayah tersebut. Surat keputusan juga dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Selatan nomor 563/KPT/BAN.KESBANGPOL dan LINMAS/2008 tentang Larangan terhadap Ahmadiyah dan Aktivitas Penganut, Anggota, atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan Islam dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Selain itu, hasil kajian yang dilakukan oleh LBH Jakarta menyebutkan, bahwa ada sekitar 5 Provinsi dan 21 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mengeluarkan kebijakan serupa, yang intinya melarang aktifitas keagamaan Jemaat Ahmadiyah.
Beragam kebijakan yang disebutkan di atas menjadi gambaran praktik diskriminasi yang dilakukan Negara terhadap hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ditambah dengan peraturan perundangan yang sejak awal sangat diskriminatif, Pemerintah Indonesia menguatkan politik diskriminasi dan pembedaannya terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia. Dalam banyak kasus bahkan Negara berlindung di balik suara mayoritas Islam, dengan memainkan desakan politik kelompok Islam minoritas puritan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan