ANTARA REALITAS DAN
IDEALITAS:
HUKUM KEBEBASAN
BERAGAMA DAN PELAKSANAANNYA DI
INDONESIA
Oleh Ihrom
Pondasi konstitusi dan hukum tentang
kebebasan beragama dan beriman di negeri yang berslogan bhinneka tunggal ika
ini sangat kokoh. Namun, penerapan dari isi konstitusi dan hukum tersebut
masih menyisakan tanda Tanya (?) besar. Inilah fakta ketidaksingkronan hukum
dan praktek hukum di
Indonesia.
1.
Konstitusi
Konstitusi telah memuat
beberapa pasal yang menjamin hak dan kebebasan beragama terutama pasal 28E, 28I
dan pasal 29 UUD Amandemen RI.
Pasal 28E UUD RI menegaskan:
1) Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2) Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat
Ketentuan ini dipertegas
dengan Pasal
28I UUD RI yang menyatakan:
(1) Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun;
(2)Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Demikian pula Pasal 29
ayat (2), menyebutkan:“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Meskipun demikian,
Konstitusi masih mengenal adanya pembatasan terkait dengan
kebebasan berpendapat dan beragama, yang ditetapkan dalam Pasal 28J UUD RI,
bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis”.
Pada saat yang sama
klausul ini sering dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan
beragama kelompok tertentu di Indonesia. Tidak jarang hak untuk berpendapat,
beragama dan berkeyaninan dibatasi oleh Pemerintah dengan alasan mengganggu
ketertiban umum dan keamanan.
2.
Undang-undang Yang Menjamin Kebebasan Berpendapat,
Beragama dan Berkeyanan.
Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memperkuat jaminan kebebasan berpendapat,
beragama dan berkeyakinan, terutama pada pasal 4, pasal 12 dan pasal 22.
Pasal 4 UU HAM menegaskan, bahwa hak
kemerdekaan pikiran, hati nurani dan hak beragama adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Selanjutnya, UU HAM juga
menegaskan hak-hak tersebut dijamin oleh hukum, yaitu pada Pasal 23
ayat (2), yang menyebutkan: “Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan
dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan
nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
Negara.”
Pasal 25 UU HAM juga menjamin: “Setiap
orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
3.
Peraturan Perundangan Tentang Hate Speech
Aturan hukum yang mengatur
hate speech, antar lain adalah KUHP , yaitu pasal 156 dan 157, dan UU
40/2008 Pasal 4 b ayat 1, 2, 3.
KUHP Pasal 156
“Di muka
umum menyatakan perasaan, kebencian dan penghinaan terhadap suatu atau beberapa
golongan rakyat Indonesia, golongan ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan,
dan kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”.
Selanjutnya dalam Pasal 157 ayat (1) KUHP
menjelaskan, bahwa “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap
golongan-golongan rakyat Indonesia dengan maksud supaya isinya diketahui atau
lebih diketahui oleh umum”.
Selain hate speech,
persoalan yang muncul adalah defamation. Sumber hukum yang paling
utama dalam problem ini adalah PNPS no 1/1965 dan 156a. Defamasi dalam PNPS
cenderung mengatur forum internum, mengancam kebebasan berfikir dan
berkeyakinan, dan pada prakteknya diwarnai oleh dominasi mayoritas, sehingga
penegakan hukum tergantung kemauan mayoritas, bukan karena fakta hukum. Tidak hanya
soal defamasi, namun juga berkaitan dengan politik pengakuan oleh negara, agama
resmi.
Selain itu, peraturan
tersebut juga mengancam kebebasan untuk berserikat. Organisasi yang melanggar
akan dibubarkan sepihak oleh negara, tanpa melalui putusan pengadilan, tetapi
hanya dengan putusan pemerintah bukan UU, seperti kepeutusan Presiden atau
menteri. Di samping itu peratutan tersebut, juga menyalahi konstitusi dan
prinsip utama dalam pembatasan hak yang diakui secara internasional.
4.
Peraturan Lain
Peraturan lain itu adalah
Perda-perda. Jika ditelusuri, Perda-perda ini dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksaan Agung. Seperti
contoh kasus Ahmadiyah Qodian.
Beberapa contoh kebijakan
ini adalah Surat Perintah (SK) Bupati Kuningan Nomor 45/.2/2065/Satpol PP yang
berisi perintah menutup dan menyegel delapan masjid milik Jemaat Ahmadiyah di
Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat. Kemudian tindakan penghentian kegiatan
pembangunan dilakukan oleh Pemerintah Bogor, Jawa Barat, melalui Surat No.
300/448-Sekr, Perihal Rencana Kegiatan Penghentian Kegiatan Pembangunan Sarana
Keagamaan Jemaat Ahmadiyah di Cisalada tertanggal 9 Juli 2010, yang
ditandatangi oleh Camat Ciampea Budi Lukmanul Hakim. Kemudian, Pemerintah Cianjur,
Jawa Barat, juga mengeluarkan aturan, pada 17 Oktober 2005, melalui Keputusan
Bersama Bupati, Kepala Kejaksaan Negeri dan Kantor Departemen Agama Cianjur
tentang larangan aktifitas penyebaran ajaran Ahmadiyah di wilayah tersebut.
Surat keputusan juga dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Selatan nomor
563/KPT/BAN.KESBANGPOL dan LINMAS/2008 tentang Larangan terhadap Ahmadiyah dan
Aktivitas Penganut, Anggota, atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang
melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus
Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan
Islam dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Selain itu, hasil kajian
yang dilakukan oleh LBH Jakarta menyebutkan, bahwa ada sekitar 5 Provinsi dan
21 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mengeluarkan kebijakan serupa, yang intinya
melarang aktifitas keagamaan Jemaat Ahmadiyah.
Beragam kebijakan yang disebutkan di atas menjadi
gambaran praktik diskriminasi yang dilakukan Negara terhadap hak-hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ditambah dengan peraturan perundangan
yang sejak awal sangat diskriminatif, Pemerintah Indonesia menguatkan politik
diskriminasi dan pembedaannya terhadap kelompok agama minoritas di Indonesia.
Dalam banyak kasus bahkan Negara berlindung di balik suara mayoritas Islam,
dengan memainkan desakan politik kelompok Islam minoritas puritan.